Pernikahan
bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral. Masyarakat Jawa
meyakini bahwa saat peralihan dari tingkat sosial yang satu ke yang lain,
merupakan saat-saat berbahaya. Karenanya, untuk
mendapatkan keselamatan hidup, dilakukan upacara-upacara. Menjadi manten
(pengantin) merupakan bagian dari peralihan itu sendiri. Tradisi
yang berlangsung biasanya berupa petung, prosesi, dan sesaji.
Petung
adalah
musyawarah untuk memutuskan suatu acara penting dalam keluarga. Petung dina
lazim dilakukan untuk menentukan hari baik pada acara hajatan, seperti hari
penikahan. Selain melihat calon mempelai dari kriteria bibit (keturunan),
bobot (berat, yakni dilihat dari harta bendanya), bebet
(kedudukan sosialnya: priayi, rakyat biasa, atau status sosial lainnya), juga
ditentukan melalui pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah
pedoman menentukan jodoh berdasar nama, hari kelahiran, dan neptu (jumlah nilai
hari kelahiran dan nilai pasarannya: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage). Melalui perhitungan-perhitungan yang didasarkan Primbon
Betaljemur Adammakna, maka kedua mempelai akan ditentukan baik buruknya
perjodohan.
Selain itu, dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa
masih meyakini peristiwa kejugrugan gunung. Yaitu peristiwa kematian atau
kecelakaan salah satu anggota keluarga dekat mempelai pengantin. Peristiwa itu
diyakini sebagai isyarat buruk dari pernikahan yang akan dilakukan.
Termasuk kepercayaan baik-buruk dalam masalah pernikahan,
dalam tradisi masyarakat Jawa masih ada yang meyakini bulan-bulan baik untuk
pernikahan yaitu Rejeb dan Besar. Bulan-bulan buruk yaitu Jumadil Awal, Pasa,
Sura, dan Sapar. (Lihat Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Dr. Purwadi, dkk, Kejawen,
Jurnal Kebudayaan Jawa, Vol. I, No. 2)
Bagaimana pandangan syariat terhadap keyakinan-keyakinan
seperti di atas?
Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam, menyebutkan bahwa umat tertimpa malapetaka dengan tathayyur sejak menyimpang dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tathayyur adalah (anggapan) kesialan. Sungguh, orang-orang sesat telah sampai kepada masalah penetapan kesialan hingga taraf yang membahayakan. Pada sebagian orang, nasib sial ditentukan karena waktu, hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya dengan angka-angka, misal angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib sial dengan burung, seperti dengan burung hantu, gagak, dan lainnya. Ketahuilah, tathayyur (menentukan sial tidaknya sesuatu) adalah termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)
Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam, menyebutkan bahwa umat tertimpa malapetaka dengan tathayyur sejak menyimpang dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tathayyur adalah (anggapan) kesialan. Sungguh, orang-orang sesat telah sampai kepada masalah penetapan kesialan hingga taraf yang membahayakan. Pada sebagian orang, nasib sial ditentukan karena waktu, hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya dengan angka-angka, misal angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib sial dengan burung, seperti dengan burung hantu, gagak, dan lainnya. Ketahuilah, tathayyur (menentukan sial tidaknya sesuatu) adalah termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلاَ
إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah
ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
(Al-A’raf: 131)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara
marfu’:
الطِّيَرَةُ
شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ
اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah
adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Dan tak
seorangpun di antara kita kecuali (sungguh telah terjadi dalam hatinya sesuatu
dari itu), akan tetapi Allah telah menghilangkannya dengan tawakal
(kepada-Nya).” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 3910, dishahihkan Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu)
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdulwahhab menyatakan (terkait hadits
di atas) bahwa hal ini menjadi penjelas perihal pengharaman thiyarah. Karena hal itu termasuk syirik, terkait dengan
menggantungkan hati kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dikatakan dalam
Syarhus Sunnah, bahwa thiyarah dikategorikan sebagai syirik karena mereka
meyakini, sesungguhnya thiyarah bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudarat pada
mereka, jika mereka telah mengamalkan apa yang diharuskan. Maka, hal ini
seperti mereka menyekutukan (sesuatu) bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amr, (bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya): “Barangsiapa
yang mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah melakukan
kesyirikan.” Para sahabat bertanya, “Maka, apa kaffarah (tebusan) untuk hal
itu?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
اللَّهُمَّ
لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya
Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada kesialan
kecuali kesialan dari Engkau, dan tidak ada ilah (sesembahan yang berhak
diibadahi) kecuali Engkau.” (Lihat Fathul Majid, hal. 287)
Mudah-mudahan
dengan menjaga prosesi pernikahan dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan,
dan kemaksiatan, pernikahan pun jadi diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Biduk
rumah tangga pun siap melaju dengan diiringi keikhlasan, kesabaran, dan tawakal
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
No comments:
Post a Comment