Ada apa dengan cinta?
Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa
cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja? Pernikahan dini atau
menikah dalam usia muda, menurut Edi Nur Hasmi, psikolog yang juga Direktur
Remaja dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, memiliki dua dampak cukup berat.
"Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu
kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu
pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20 - 30 tahun.
Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil."
Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja, ungkap Edi, boleh dibilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Dan pada usia 20 - 24 tahun dalam psikologi, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead edolesen. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Maka, kalau pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun secara emosi si remaja masih ingin bertualang menemukan jati dirinya. "Bayangkan kalau orang seperti itu menikah, ada anak, si istri harus melayani suami dan suami tidak bisa ke mana-mana karena harus bekerja untuk belajar tanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian, pisah rumah, bahkan bisa mengalami depresi berat," jelasnya. Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya. "Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal," jelas psikolog yang rajin meneliti kehidupan remaja melalui program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang dibina BKKBN. "Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan," Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi Maried By Accident (MBA) atau menikah karena "kecelakaan", kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja. Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan merupakan pertemuan dua pribadi berbeda. Kalau keduanya bisa saling merubah, itu hanya akan terjadi kalau dua-duanya sama-sama dewasa. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernikahan usia remaja. Pada tahap awal, mungkin wanitanya bisa berubah, tapi laki-lakinya tidak. Sehingga di wanita akan merasa capek sendiri, atau juga sebaliknya. Lalu, perlukah orang ketiga untuk mendamaikan permasalahan remaja? Terkadang, remaja memiliki ambisi pribadi untuk mempertanggungkan hasil perbuatannya dan akan mudah tersinggung bila orang lain ikut campur dalam kehidupannya. Bahkan orangtua terkadang hanya bisa geleng kepala, melihat tingkah remaja yang tidak mempan diberi nasihat dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, orang ketiga yang diharapkan mampu mendamaikan persolan rumah tangga remaja, tidak selalu orangtua, tetapi orang yang dituakan. Artinya, pihak ketiga itu bisa saja saudara, teman, paman ataupun kerabat lainnya. "Semua tergantung pada tingkat kepercayaan masing-masing, bagaimana pihak ketiga itu bisa mendekati remaja dengan baik. Namun keluarga harus tetap memberi arahan, supaya remaja bisa melewati awal-awal masa kritis dengan baik," jelas Edi seraya menambahkan, "berdasarkan pengalaman, masa permulaan kritis yang dialami pada pernikahan normal adalah lima tahun. Karena, mempertemukan perbedaan satu sama lain cukup sulit, apalagi bila hal ini dialami remaja yang memiliki emosi labil." |
Saturday, 25 July 2015
TOP: Ada apa dengan cinta?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment