Tuesday, 8 September 2015

RUKUN dan SYARAT NIKAH

Hasil gambar untuk gambar syarat dan rukun nikah



Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.[1]
Menurut Muhammad Abu Ishrah, yang juga dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly,[2] mendefinisikan pernikahan sebagai berikut :
عقد يفيد حل العشرة بين الرجل والمرأة وتعاونهما ويحد مالكيهما من حقوق وما عليه من واجبات.
Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.

Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari :

Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan kehidupannya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk lain yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki tanpa adanya satu aturan. Oleh karena itu, untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah wujudkan hukum yang sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa saling meridhai serta dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa kedua pasangan tersebut telah saling terikat.[3]

Dari pengertian-pengertian di atas tampaknya terlihat beda antara ulama terdahulu dengan ulama kontemporer, akan tetapi intinya sama. Yaitu, ulama terdahulu dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Hal ini dimaksudkan untuk memfokuskan pembahasan, karena pembahasan setelah akad nikah maupun kehidupan rumah tangga ada pembahasannya tersendiri.
Sedangkan ulama kontemporer lebih menggabungkan antara kehalalan nikah dengan kehidupan selanjutnya dalam mahligai perkawinan. Karena mereka berpandangan bahwa setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, seperti terjadinya perceraian maupun kurang adanya keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya. 
Jadi inti dari definisi ulama terdahulu dengan ulama kontemporer adalah sama dan hanya lebih ada penjelasan, yaitu bahwasannya perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. Pernikahan itu adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah. Jadi, akad tersebut menjadikan saling mendapatkan hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena pernikahan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan / maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Jelas telah kita fahami apa yang dimaksud pernikahan tersebut, akan tetapi pernikahan itu sendiri mempunyai aturan atau ketentuan yang menjadikan sah / tidaknya ataupun diakui dalam syari’at Islam. Oleh karena itu perlu kami uraikan sesuatu yang berkaitan dengan ketentuan pernikahan secara syari’at Islam.
B.     Rukun Nikah
Rukun dari kata ركن – يركن – ركونا   yang artinya tiang, sandaran, bagian atau unsur.[4] Yaitu suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu. Rukun nikah menurut jumhur ulama terdiri atas :[5]
1.             Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
               Sudah menjadi sunnatullah bahwa semua makhluk dijadikan oleh Allah SWT di muka bumi ini dengan berpasang-pasangan termasuk manusia. Karena berpasangan, maka tidak boleh orang menikah dengan sesama jenis atau dengan makhluk lain. Dengan dasar firman Allah SWT :
Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah[6]

Artinya :  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[7]

2.             Adanya wali dari calon pengantin wanita.

Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya. Hal ini dapat dilihat dalam keterangan hadits Nabi :

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ.(اخرجه الاربعة الا النسائى)

Artinya : Barang siapa di antara perempuan menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal.(H.R. Empat ahli hadits, kecuali Nasa’i)[8]

3.  Adanya dua orang saksi.

Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang yang menyaksikan akad nikah tersebut. Hal ini dilakukan sebagai penguat adanya transaksi pernikahan, dan apabila terjadi permasalahan dengan pengesahan pernikahan tersebut, saksi bisa dijadikan sumbernya. Dalam hadits Nabi dijelaskan :
أخبرنا عمر بن محمد الهمداني من أصل كتابه ، حدثنا سعيد بن يحيى بن سعيد الأموي ، حدثنا حفص بن غياث ، عن ابن جريج ، عن سليمان بن موسى ، عن الزهري ، عن عروة ، عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Artinya : Umar bin Muhammad Al-Hamdani memberitakan dari asal kitabnya, Sa’id bin Yahya bin Sa’id al-Umawi menceritakan, Hafes bin Giyats menceritakan, dari Ibnu Jarih, dari Sulaiman bin Musa, dari Dzahiri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :”Nikah itu tidak sah, melainkan dengan wali dan dua orang saksi”.[9]

4.  Sighat akad nikah (ijab kabul)

Inilah inti dalam transaksi pernikahan. Yaitu perjanjian dan permufakatan yang ditandai dengan ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at. Oleh karena itu dalam pernikahan harus ada akad. Hal ini dapat dipahami dalam Hadits Nabi :
ذكر ما يستحب للمرء عند التزويج أن يطلب الدين دون المال في العقد على ولده أو على نفسه[10]

Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa ulama mazhab tentang jumlah rukun nikah. Menurut Wahbah Zuhaili, yang juga dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly,[11] jumlah rukun nikah menurut beberapa ulama antara lain:
q     Menurut Imam Malik rukun nikah itu ada 5, yaitu : 1. Wali dari pihak perempuan, 2. Mahar (mas kawin), 3. Calon pengantin laki-laki, 4. Calon pengantin perempuan, 5. Sighat akad nikah.
q     Menurut Imam Syafi’i rukun nikah itu ada 5, yaitu : 1. Calon pengantin laki-laki, 2. Calon pengantin perempuan, 3. Wali,  4. Dua orang saksi, 5. Sighat akad nikah.
q     Menurut ulama Hanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki).
q     Menurut ulama Hanabilah rukun nikah itu ada 3, yaitu : 1. Calon pengantin laki-laki, 2. Calon pengantin perempuan, 3. Sighat akad nikah.
q     Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada 4, yaitu : 1. Sighat (ijab dan qabul), 2. Calon pengantin perempuan, 3. Calon pengantin laki-laki, 4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.

Dari uraian perbedaan tersebut sebetulnya tidak perlu dirisaukan, karena sama-sama punya dasar berijtihad. Bagi kita adalah terserah mau mengikuti mazhab yang mana. Seperti halnya pendapatnya Sayyid Sabiq yang agak condong ke mazhab Hanafiyah :
Rukun yang pokok dalam pernikahan adalah keridhaan laki-laki dan perempuan serta persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, maka harus ada simbolisasi yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami istri. Simbolisasi itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad. Pernyataan pertama sebagai pernyataan kemauan untuk membentuk hubungan suami istri disebut ijab. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya, disebut qabul. Dari sini kemudian para ahli fiqih menyatakan bahwa rukun pernikahan adalah ijab dan qabul”.[12]

Dan perlu diketahui pula, bahwa pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun. Sementara menurut mazhab Hanafi, wali itu bukan rukun dan bukan syarat dalam pernikahan perempuan dewasa yang sudah bisa memilih, tetapi syarat bagi pernikahan anak kecil, orang gila dan hamba sahaya. Adapun menurut mazhab Hambali, wali itu bukan rukun tetapi syarat untuk sahnya nikah.
Sedangkan beberapa ketentuan Jumhur Ulama di atas tidak merukunkan mahar, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan. Hal ini dianut oleh KHI (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia) sebagai rukun-rukun yang harus diterapkan.
Perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Dan juga perbedaan rukun yang ada pada beberapa pendapat ulama dikarenakan perbedaan dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat, dan hal ini tidak bersifat substansial. Karena semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah : akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.
Yang jelas kita tidak boleh merubah ataupun mengurangi pendapat beberapa ulama. Dan pernikahan itu dapat terlaksana apabila rukun tersebut telah terpenuhi. Jangan seperti apa yang telah diuraikan para cendekiawan sekarang ini, yang merumuskan hukum hanya didasari akal. Yaitu keputusan Dr. Siti Musdah Mulia, yang berpendapat bahwa “perkawinan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun berikut : (a) calon suami; (b) calon isteri; (c) ijab dan kabul; dan (d) pencatatan.[13] Menurut kami ini sudah kebablasan, karena pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administrasi negara. Pencatatan perkawinan bukanlah esensial dalam hukum perkawinan Islam. Pernikahan yang tidak dicatat hanya tidak mempunyai kekuatan hukum pengadilan saja.
 Sekarang tinggal proses pengesahannya, apakah pernikahan itu sah ataukah tidak, masih ada persyaratan yang mengikat lainya. Selanjutnya kami uraikan syarat-syarat nikah.
C.    Syarat Nikah
Pernikahan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya pernikahan tercapai. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Syarat-syarat sahnya nikah atau syarat yang mengesahkan adanya prosesi pernikahan itu adalah :
·         Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya.
·         Dihadiri dua orang saksi laki-laki.
·         Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad.[14]
Syarat ketiga ini dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’I, Ahmad  bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila, dan Ibnu Syubrumah.
Adapun syarat-syarat lain yang berkaitan dengan pernikahan ini, kami uraikan mulai dari : kedua mempelai, wali nikah, saksi nikah, ijab qabul, dan mahar.
Ø  Syarat kedua mempelai
§  Mempelai laki-laki :
-          Beragama Islam
-          Laki-laki
-          Jelas orangnya
-          Dapat memberi persetujuan
-          Tidak terdapat halangan perkawinan (sedang ihram / memiliki istri empat / satu mahram)
§  Mempelai perempuan :
-          Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani (ahli Kitab)
-          Perempuan
-          Jelas orangnya
-          Dapat dimintai persetujuannya
-          Tidak terdapat halangan perkawinan (sedang ihram / masa iddah / satu mahram)[15]
Kedua mempelai harus beragama Islam, karena aturan yang jelas dituangkan dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 10, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi menikahi wanita beragama lain (ahli kitab) masih diperbolehkan dengan dasar surat Al Ma’idah ayat 5. Kedua mempelai harus jelas kelaki-lakiannya dan juga kewanitaannya, tidak diperkenankan sesama jenis atau dengan khuntsa (banci). Kedua mempelai harus jelas kedudukannya, apakah masih ada hubungan darah atau tidak, wanita mana yang benar-benar akan dinikahi. Karena perkawinan itu perjanjian antara wanita dan pria, maka perlu kejelasan yang melakukan akad tersebut. Mempelai pria dapat memberi persetujuan dengan qabiltu nikahaha, mempelai wanita dapat dimintai persetujuannya dinikahkan. Kedua mempelai tidak sedang ihram, karena waktu ibadah ihram dilarang untuk melakukan pernikahan. Termasuk tidak boleh adanya hubungan darah atau mahram. Mempelai pria yang telah mempunyai istri empat tidak boleh nikah lagi, karena batasan maksimal agama adalah empat, kecuali kalau salah satunya diceraikan. Mempelai wanita yang masih dalam iddah tidak diperkenankan menikah karena masih dalam masa tunggu untuk kemurnian isi kandungan/rahim.
Dari sekian persyaratan tentunya perlu ditambahkan persyaratan bagi kedua mempelai, yaitu telah baligh dan berakal sehat. Jadi orang yang kehilangan kecakapan karena gila, rusak akal atau di bawah umur tamyiz, tidak sah melakukan akad. Akan tetapi kebanyakan fukaha, mempelai perempuan tidak boleh melakukan akad sendiri, harus dilakukan oleh walinya (kecuali janda).sedangkan mazhab Hanafi memandang sah ia melakukan akad sendiri dengan syarat telah baligh dan berakal sehat.
Ø  Syarat Wali Nikah
-          Dewasa
-          Laki-laki
-          Beragama Islam
-          Wali itu tidak fasiq
-          Mempunyai hak perwalian
-          Berakal (tidak idiot / gila)
-          Merdeka [16]
Wali itu harus dewasa karena tidak berhak wali seorang anak kecil di mana dia sendiri tidak dapat menguasai urusan dirinya, bagaimana mungkin ia menguasai orang lain. Wali itu harus laki-laki, hal ini telah disepakati ulama dengan dasar hadits riwayat Ibnu Majah “Tidak boleh seorang perempuan menikahkan perempuan lain atau menikahkan dirinya”. Wali harus beragama Islam, maka seorang kafir tidak memiliki kekuasaan untuk menikahkan perempuan yang muslim. Jika ayahnya/wali itu kafir maka bisa diwakilkan kepada yang muslim atau wali hakim. Wali itu tidak fasiq, wali itu disyaratkan adil, tidak bermaksiat, ia orang baik-baik yang tidak membiasakan diri berbuat yang munkar. Wali tersebut mempunyai hak perwalian, yakni karena status ayah/kakek/paman/saudara laki-laki/anaknya paman. Wali itu harus berakal, karena kalau gila tentunya tidak bisa mengakadkan. Wali harus merdeka, karena kalau dia hamba sahaya akan terbatasi oleh majikannya dan karena ia sendiri dimiliki oleh orang lain..
Untuk membantu memahami kejelasan wali, dalam pengertian wali ada beberapa macam wali, yaitu wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.
v  Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.seperti ayah, saudara laki-laki mempelai wanita atau pamannya.
v  Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Wali ini dipakai ketika mempelai wanita tidak terdapat wali nasab. Akan tetapi ia tidak berhak menikahkan : Wanita yang belum baligh, kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekufu, tanpa seizin wanita yang akan menikah, dan di luar daerah kekuasaannya.
v  Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya adalah : calon suami mengucapkan tahkim kepada calon istri dengan kalimat, “Saya angkat bapak/ saudara untuk menikahkan saya pada si…(calon istri) dengan mahar… dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang”. Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, ”Saya terima tahkim ini”. Wali ini terjadi apabila : wali nasab tidak ada, tidak ada qadhi atau pegawai pencatat nikah.
v  Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri.
v  Wali mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat ridha atau tidaknya. Wali mujbir ini termasuk wali nasab.[17]
Ø  Syarat Saksi Nikah
-          Berakal, bukan orang gila
-          Baligh, bukan anak-anak
-          Merdeka, bukan budak
-          Islam
-          Kedua orang saksi itu mendengar
Abu Hanifah, Hanbali dan Syafi’i sependapat bahwa saksi termasuk syarat nikah. Adapun menurut mazhab Maliki, dianjurkan adanya kesaksian dari dua orang yang adil selain wali untuk akad ketika berlangsungnya akad. Mereka digunakan agar tidak terjadi kerahasiaan pernikahan, karena nikah rahasia tidak boleh.[18] Saksi bukan orang gila, ini jelas di manapun orang gila tidak bisa dimintai pendapatnya apalagi sebagai penguat adanya prosesi pernikahan. Saksi harus sudah baligh (dewasa), hal ini bertujuan untuk pengakuan masyarakat apabila dimintai keterangan benarnya pernikahan si fulan. Saksi harus merdeka, karena persaksiannya dibutuhkan secara murni tanpa ada tekanan siapapun, jika seorang budak karena dimiliki seseorang, maka kemungkinan kesaksiannya bisa hilang karena tuannya. Saksi harus beragama Islam, tidak sah nikah di depan dua orang saksi yang kafir, ini adalah mazhab Syafi’I, Hanbali dan termasuk Hanafi. Kedua orang saksi itu harus mendengar, karena yang disaksikan dalam akad adalah perkataan, oleh karena itu pendengaran harus menjadi syarat.
Ø  Syarat Ijab Qabul
-          Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
-          Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
-          Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij
-          Antara ijab dan qabul bersambungan
-          Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
-          Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
-          Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dua orang saksi.[19]
Dalam melaksanakan ijab qabul harus digunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melangsungkan akad nikah sebagai pernyataan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau tidak mengerti maksudnya. Mengenai bentuk kalimat ijab dan qabul ini, para fuqaha telah mensyaratkan harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kedua belah pihak, yaitu dengan kata zawwajtuka / ankahtuka dan jawaban qabiltu nikaahaha. Mereka mensyaratkan hal itu, karena adanya persetujuan dan kesepakatan dari kedua belah pihak merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan ijab dan qabul hanya merupakan manifestasi dari persetujuan tersebut. Apabila dengan bentuk mudhari’, maka bentuk tersebut mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan perjanjian nikah untuk masa mendatang belum disebut akad pada saat itu. Dengan kata lain kedua belah pihak harus memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan kesepakatan tersebut pada waktu akad nikah.
Ø  Syarat Mahar / Mas Kawin
-          Harta / bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak sedikitnya. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
-          Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
-          Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
-          Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[20]
Kata mahar dalam al Qur’an tidak digunakan, akan tetapi digunakan kata saduqah, yaitu dalam surat al Nisa’ ayat 4 :
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.[21]
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hokum Islam
Kompilasi hukum Islam dijelaskan, bahwa mahar itu hukumnya wajib. Menurut Imam Syafi’i bahwa mahar itu sesuatu yang wajib diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita. Menurut Imam Malik bahwa mahar itu masuk dalam rukun, maka hukum memberikannya adalah wajib. Sedangkan yang lainnya mensunnahkan mahar. Adapun besar kecilnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa mahar itu tidak ada batas tertinggi.
Perlu kami uraikan sedikit pengertian mahar, di mana mahar ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar dan mahar mitsil (sepadan).
a.  Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah. Dengan hal ini, ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :
1.    Telah bercampur (bersenggama).
2.    Salah satu dari suami istri meninggal.
 b.  Mahar Mitsil (sepadan)
Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status social, kecantikan dan sebagainya. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.[22]

[1] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hlm. 78
[2] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2007, cet. ke-2, jilid 2, hlm. 477
[4] Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 529
[5] Slamet Abidin, Aminuddin, op. cit., hlm. 64-68
[6] Departemen Agama RI, op. cit.,  hlm. 862
[7] Ibid.,  hlm. 115
[8] CD al-Maktabah al-Syamilah, edisi II, Sunan Abi Dawud, Juz 5, hlm. 477
[9] CD al-Maktabah al-Syamilah, edisi II, Sahih Ibnu Hibban, Juz 17, hlm. 153
[10] Ibid, hlm. 73
[11] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm.9
[12] Sayyid Sabiq, op. cit.,  hlm. 515
[13] Siti Musdah Mulia, Dr., Menuju Undang-Undang Perkawinan Yang Adil, PSW UIN Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, hlm. 22
[14] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 31
[15] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 71
[16] Ahmad Bin ‘Umar Ad-Dairabi, Fiqih Nikah, Mustaqiim, Jakarta, 2003, hlm. 154-162
[17] Slamet Abidin, Aminuddin, op. cit., hlm. 89-95
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2007, cet. ke-3, jilid 2, hlm. 430
[19] Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 72
[20] Abd. Rahman Ghazaly, op. cit., hlm. 88
[21] Departemen Agama RI, op. cit.,  hlm. 61
[22] Abd. Rahman Ghazaly, op. cit., hlm. 94