Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk
menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.[1]
Menurut Muhammad Abu Ishrah, yang juga dikutip oleh Abd.
Rahman Ghazaly,[2] mendefinisikan pernikahan sebagai berikut :
عقد يفيد حل العشرة بين الرجل والمرأة وتعاونهما ويحد مالكيهما من حقوق
وما عليه من واجبات.
“Akad yang
memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri)
antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak
bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari :
Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan
suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak,
berkembang biak, dan melestarikan kehidupannya, setelah masing-masing pasangan
siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.
Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk lain yang hidup bebas
mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki
tanpa adanya satu aturan. Oleh karena itu, untuk menjaga kehormatan dan
kemuliaan manusia, Allah wujudkan hukum yang sesuai dengan martabatnya.
Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari
adanya rasa saling meridhai serta dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa
kedua pasangan tersebut telah saling terikat.[3]
Dari pengertian-pengertian di atas tampaknya terlihat
beda antara ulama terdahulu dengan ulama kontemporer, akan tetapi intinya sama.
Yaitu, ulama terdahulu dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu
kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
semula dilarang menjadi dibolehkan. Hal ini dimaksudkan untuk memfokuskan
pembahasan, karena pembahasan setelah akad nikah maupun kehidupan rumah tangga
ada pembahasannya tersendiri.
Sedangkan ulama kontemporer lebih menggabungkan antara
kehalalan nikah dengan kehidupan selanjutnya dalam mahligai perkawinan. Karena
mereka berpandangan bahwa setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan
akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia
pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, seperti terjadinya perceraian
maupun kurang adanya keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan
penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan seksual
tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.
Jadi inti dari definisi ulama terdahulu dengan ulama
kontemporer adalah sama dan hanya lebih ada penjelasan, yaitu bahwasannya
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu
rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. Pernikahan itu adalah
suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi
rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah. Jadi,
akad tersebut menjadikan saling mendapatkan hak dan kewajiban serta bertujuan
mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena pernikahan
termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan / maksud
mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Jelas telah kita fahami apa yang dimaksud pernikahan
tersebut, akan tetapi pernikahan itu sendiri mempunyai aturan atau ketentuan
yang menjadikan sah / tidaknya ataupun diakui dalam syari’at Islam. Oleh karena
itu perlu kami uraikan sesuatu yang berkaitan dengan ketentuan pernikahan
secara syari’at Islam.
B. Rukun
Nikah
Rukun
dari kata ركن – يركن – ركونا yang artinya tiang,
sandaran, bagian atau unsur.[4]
Yaitu suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan
atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau
tidak adanya sesuatu itu. Rukun nikah menurut jumhur ulama terdiri atas :[5]
1.
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
Sudah
menjadi sunnatullah bahwa semua makhluk dijadikan oleh Allah SWT di muka bumi
ini dengan berpasang-pasangan termasuk manusia. Karena berpasangan, maka tidak
boleh orang menikah dengan sesama jenis atau dengan makhluk lain. Dengan dasar
firman Allah SWT :
Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah[6]
Artinya : Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[7]
2.
Adanya wali dari calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali
atau wakilnya yang akan menikahkannya. Hal ini dapat
dilihat dalam keterangan hadits Nabi :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ.(اخرجه الاربعة الا
النسائى)
Artinya :
Barang siapa di antara perempuan menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahannya batal.(H.R. Empat ahli hadits, kecuali Nasa’i)[8]
3. Adanya dua orang saksi.
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang
yang menyaksikan akad nikah tersebut. Hal ini dilakukan sebagai penguat adanya
transaksi pernikahan, dan apabila terjadi permasalahan dengan pengesahan
pernikahan tersebut, saksi bisa dijadikan sumbernya. Dalam hadits Nabi
dijelaskan :
أخبرنا عمر بن محمد الهمداني من أصل كتابه ، حدثنا سعيد بن يحيى بن سعيد
الأموي ، حدثنا حفص بن غياث ، عن ابن جريج ، عن سليمان بن موسى ، عن الزهري ، عن
عروة ، عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « لا نكاح إلا بولي وشاهدي
عدل
Artinya :
Umar bin Muhammad Al-Hamdani memberitakan dari asal kitabnya, Sa’id bin Yahya
bin Sa’id al-Umawi menceritakan, Hafes bin Giyats menceritakan, dari Ibnu
Jarih, dari Sulaiman bin Musa, dari Dzahiri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :”Nikah itu tidak sah, melainkan dengan
wali dan dua orang saksi”.[9]
4. Sighat akad nikah (ijab kabul)
Inilah inti dalam transaksi pernikahan. Yaitu perjanjian
dan permufakatan yang ditandai dengan ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan
kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at. Oleh
karena itu dalam pernikahan harus ada akad. Hal ini dapat dipahami dalam Hadits
Nabi :
ذكر ما يستحب
للمرء عند التزويج أن يطلب الدين دون المال في العقد على ولده أو على نفسه[10]
Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa ulama mazhab tentang
jumlah rukun nikah. Menurut Wahbah Zuhaili, yang juga dikutip oleh Abd. Rahman
Ghazaly,[11] jumlah rukun nikah menurut beberapa ulama antara lain:
q Menurut Imam Malik rukun nikah itu ada 5, yaitu : 1. Wali
dari pihak perempuan, 2. Mahar (mas kawin), 3. Calon pengantin laki-laki, 4.
Calon pengantin perempuan, 5. Sighat akad nikah.
q
Menurut Imam Syafi’i rukun nikah itu ada 5, yaitu : 1. Calon pengantin laki-laki, 2. Calon pengantin perempuan, 3. Wali, 4. Dua orang saksi, 5. Sighat akad nikah.
q
Menurut ulama
Hanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan
oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki).
q
Menurut ulama Hanabilah rukun nikah itu ada 3, yaitu : 1. Calon pengantin
laki-laki, 2. Calon pengantin perempuan, 3. Sighat akad nikah.
q Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada 4, yaitu
: 1. Sighat (ijab dan qabul), 2. Calon pengantin perempuan, 3.
Calon pengantin laki-laki, 4. Wali dari pihak calon
pengantin perempuan.
Dari uraian perbedaan tersebut sebetulnya tidak perlu dirisaukan, karena
sama-sama punya dasar berijtihad. Bagi kita adalah terserah mau mengikuti
mazhab yang mana. Seperti halnya pendapatnya Sayyid Sabiq yang agak condong ke
mazhab Hanafiyah :
“Rukun yang pokok dalam pernikahan adalah keridhaan laki-laki dan perempuan
serta persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan
ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata,
maka harus ada simbolisasi yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan
ikatan suami istri. Simbolisasi itu
diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad.
Pernyataan pertama sebagai pernyataan kemauan untuk membentuk hubungan suami
istri disebut ijab. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang
mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya, disebut
qabul. Dari sini kemudian para ahli fiqih menyatakan bahwa rukun pernikahan
adalah ijab dan qabul”.[12]
Dan perlu diketahui pula, bahwa pendapat yang mengatakan
bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon
pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun. Sementara menurut mazhab
Hanafi, wali itu bukan rukun dan bukan syarat dalam pernikahan perempuan dewasa
yang sudah bisa memilih, tetapi syarat bagi pernikahan anak kecil, orang gila
dan hamba sahaya. Adapun menurut mazhab Hambali, wali itu bukan rukun tetapi
syarat untuk sahnya nikah.
Sedangkan beberapa ketentuan Jumhur Ulama di atas tidak
merukunkan mahar, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad
perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan
demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan. Hal ini dianut oleh
KHI (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia) sebagai rukun-rukun yang harus
diterapkan.
Perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh
karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Dan juga perbedaan rukun
yang ada pada beberapa pendapat ulama dikarenakan perbedaan dalam menempatkan
mana yang rukun dan mana yang syarat, dan hal ini tidak bersifat substansial.
Karena semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada
dalam suatu perkawinan adalah : akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin,
perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan
akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.
Yang jelas kita tidak boleh merubah ataupun mengurangi
pendapat beberapa ulama. Dan pernikahan itu dapat terlaksana apabila rukun
tersebut telah terpenuhi. Jangan seperti apa yang telah diuraikan para
cendekiawan sekarang ini, yang merumuskan hukum hanya didasari akal. Yaitu
keputusan Dr. Siti Musdah Mulia, yang berpendapat bahwa “perkawinan dinyatakan
sah apabila memenuhi rukun berikut : (a) calon suami; (b) calon isteri; (c)
ijab dan kabul; dan (d) pencatatan.[13] Menurut kami ini sudah kebablasan, karena pencatatan perkawinan merupakan
kewajiban administrasi negara. Pencatatan perkawinan bukanlah esensial dalam
hukum perkawinan Islam. Pernikahan yang tidak dicatat hanya tidak mempunyai
kekuatan hukum pengadilan saja.
Sekarang tinggal
proses pengesahannya, apakah pernikahan itu sah ataukah tidak, masih ada
persyaratan yang mengikat lainya. Selanjutnya kami uraikan
syarat-syarat nikah.
C. Syarat
Nikah
Pernikahan
yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu,
agar tujuan disyariatkannya pernikahan tercapai. Syarat yaitu sesuatu yang
mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi
sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Syarat-syarat
pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila syarat-syaratnya
terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban
sebagai suami istri.
Syarat-syarat sahnya nikah atau syarat yang mengesahkan
adanya prosesi pernikahan itu adalah :
·
Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya.
·
Dihadiri dua orang saksi laki-laki.
Syarat ketiga ini dianut kaum muslimin di Indonesia dan
merupakan pendapat Syafi’I, Ahmad bin
Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila, dan Ibnu Syubrumah.
Adapun syarat-syarat lain yang berkaitan dengan pernikahan
ini, kami uraikan mulai dari : kedua mempelai, wali nikah, saksi nikah, ijab
qabul, dan mahar.
Ø Syarat
kedua mempelai
§ Mempelai
laki-laki :
-
Beragama Islam
-
Laki-laki
-
Jelas orangnya
-
Dapat memberi
persetujuan
-
Tidak terdapat halangan perkawinan (sedang ihram / memiliki istri empat /
satu mahram)
§ Mempelai
perempuan :
-
Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani (ahli Kitab)
-
Perempuan
-
Jelas orangnya
-
Dapat dimintai
persetujuannya
Kedua mempelai harus beragama Islam, karena aturan yang
jelas dituangkan dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 10, begitu pula
sebaliknya. Akan tetapi menikahi wanita beragama lain (ahli kitab) masih
diperbolehkan dengan dasar surat Al Ma’idah ayat 5. Kedua mempelai harus jelas
kelaki-lakiannya dan juga kewanitaannya, tidak diperkenankan sesama jenis atau
dengan khuntsa (banci). Kedua mempelai harus jelas kedudukannya, apakah masih
ada hubungan darah atau tidak, wanita mana yang benar-benar akan dinikahi.
Karena perkawinan itu perjanjian antara wanita dan pria, maka perlu kejelasan
yang melakukan akad tersebut. Mempelai pria dapat memberi persetujuan dengan
qabiltu nikahaha, mempelai wanita dapat dimintai persetujuannya dinikahkan.
Kedua mempelai tidak sedang ihram, karena waktu ibadah ihram dilarang untuk
melakukan pernikahan. Termasuk tidak boleh adanya hubungan darah atau mahram.
Mempelai pria yang telah mempunyai istri empat tidak boleh nikah lagi, karena
batasan maksimal agama adalah empat, kecuali kalau salah satunya diceraikan.
Mempelai wanita yang masih dalam iddah tidak diperkenankan menikah karena masih
dalam masa tunggu untuk kemurnian isi kandungan/rahim.
Dari sekian persyaratan tentunya perlu ditambahkan
persyaratan bagi kedua mempelai, yaitu telah baligh dan berakal sehat. Jadi
orang yang kehilangan kecakapan karena gila, rusak akal atau di bawah umur tamyiz,
tidak sah melakukan akad. Akan tetapi kebanyakan fukaha, mempelai perempuan
tidak boleh melakukan akad sendiri, harus dilakukan oleh walinya (kecuali
janda).sedangkan mazhab Hanafi memandang sah ia melakukan akad sendiri dengan
syarat telah baligh dan berakal sehat.
Ø Syarat
Wali Nikah
-
Dewasa
-
Laki-laki
-
Beragama Islam
-
Wali itu tidak fasiq
-
Mempunyai hak
perwalian
-
Berakal (tidak idiot
/ gila)
-
Merdeka [16]
Wali
itu harus dewasa karena tidak berhak wali seorang anak kecil di mana dia
sendiri tidak dapat menguasai urusan dirinya, bagaimana mungkin ia menguasai
orang lain. Wali itu harus laki-laki, hal ini telah disepakati ulama dengan
dasar hadits riwayat Ibnu Majah “Tidak boleh seorang perempuan menikahkan
perempuan lain atau menikahkan dirinya”. Wali harus beragama Islam, maka seorang kafir tidak memiliki kekuasaan
untuk menikahkan perempuan yang muslim. Jika ayahnya/wali itu kafir maka bisa
diwakilkan kepada yang muslim atau wali hakim. Wali itu tidak fasiq, wali itu
disyaratkan adil, tidak bermaksiat, ia orang baik-baik yang tidak membiasakan
diri berbuat yang munkar. Wali tersebut mempunyai hak perwalian, yakni karena
status ayah/kakek/paman/saudara laki-laki/anaknya paman. Wali itu harus
berakal, karena kalau gila tentunya tidak bisa mengakadkan. Wali harus merdeka,
karena kalau dia hamba sahaya akan terbatasi oleh majikannya dan karena ia
sendiri dimiliki oleh orang lain..
Untuk membantu memahami kejelasan wali, dalam pengertian
wali ada beberapa macam wali, yaitu wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan
wali maula.
v Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab
dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.seperti ayah, saudara
laki-laki mempelai wanita atau pamannya.
v Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Wali
ini dipakai ketika mempelai wanita tidak terdapat wali nasab. Akan tetapi ia
tidak berhak menikahkan : Wanita yang belum baligh, kedua belah pihak (calon
wanita dan pria) tidak sekufu, tanpa seizin wanita yang akan menikah, dan di
luar daerah kekuasaannya.
v Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami
dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya adalah : calon suami
mengucapkan tahkim kepada calon istri dengan kalimat, “Saya angkat bapak/
saudara untuk menikahkan saya pada si…(calon istri) dengan mahar… dan putusan
bapak/saudara saya terima dengan senang”. Setelah itu, calon istri juga
mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, ”Saya terima
tahkim ini”. Wali ini terjadi apabila : wali nasab tidak ada, tidak ada
qadhi atau pegawai pencatat nikah.
v Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya, artinya
majikannya sendiri.
v Wali mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan
perempuan yang diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat
mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat
ridha atau tidaknya. Wali mujbir ini termasuk wali nasab.[17]
Ø Syarat
Saksi Nikah
-
Berakal, bukan orang
gila
-
Baligh, bukan
anak-anak
-
Merdeka, bukan budak
-
Islam
-
Kedua orang saksi
itu mendengar
Abu Hanifah, Hanbali dan Syafi’i sependapat bahwa saksi
termasuk syarat nikah. Adapun menurut mazhab Maliki, dianjurkan adanya
kesaksian dari dua orang yang adil selain wali untuk akad ketika berlangsungnya
akad. Mereka digunakan agar tidak terjadi kerahasiaan pernikahan, karena nikah
rahasia tidak boleh.[18] Saksi bukan orang gila, ini jelas di manapun orang gila tidak bisa
dimintai pendapatnya apalagi sebagai penguat adanya prosesi pernikahan. Saksi
harus sudah baligh (dewasa), hal ini bertujuan untuk pengakuan masyarakat
apabila dimintai keterangan benarnya pernikahan si fulan. Saksi harus merdeka,
karena persaksiannya dibutuhkan secara murni tanpa ada tekanan siapapun, jika
seorang budak karena dimiliki seseorang, maka kemungkinan kesaksiannya bisa
hilang karena tuannya. Saksi harus beragama Islam, tidak sah nikah di depan dua
orang saksi yang kafir, ini adalah mazhab Syafi’I, Hanbali dan termasuk Hanafi.
Kedua orang saksi itu harus mendengar, karena yang disaksikan dalam akad adalah
perkataan, oleh karena itu pendengaran harus menjadi syarat.
Ø Syarat
Ijab Qabul
-
Adanya pernyataan
mengawinkan dari wali
-
Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
-
Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah atau tazwij
-
Antara ijab dan
qabul bersambungan
-
Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
-
Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
-
Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dua orang saksi.[19]
Dalam melaksanakan ijab qabul harus digunakan kata-kata
yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melangsungkan akad nikah
sebagai pernyataan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak, dan tidak boleh
menggunakan kata-kata yang samar atau tidak mengerti maksudnya. Mengenai bentuk
kalimat ijab dan qabul ini, para fuqaha telah mensyaratkan harus dalam bentuk
madhi (lampau) bagi kedua belah pihak, yaitu dengan kata zawwajtuka /
ankahtuka dan jawaban qabiltu nikaahaha. Mereka mensyaratkan hal
itu, karena adanya persetujuan dan kesepakatan dari kedua belah pihak merupakan
rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan ijab dan qabul hanya merupakan
manifestasi dari persetujuan tersebut. Apabila dengan bentuk mudhari’, maka
bentuk tersebut mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan perjanjian
nikah untuk masa mendatang belum disebut akad pada saat itu. Dengan kata lain
kedua belah pihak harus memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan
kesepakatan tersebut pada waktu akad nikah.
Ø Syarat
Mahar / Mas Kawin
-
Harta / bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga,
walaupun tidak ada ketentuan banyak sedikitnya. Akan tetapi apabila mahar
sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
-
Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar,
babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
-
Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik
orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena
berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar hasil ghasab tidak sah,
tetapi akadnya tetap sah.
-
Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan
barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[20]
Kata mahar dalam al Qur’an tidak digunakan, akan
tetapi digunakan kata saduqah, yaitu dalam surat al Nisa’ ayat 4 :
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”.[21]
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hokum Islam
Kompilasi hukum Islam dijelaskan, bahwa mahar itu
hukumnya wajib. Menurut Imam Syafi’i bahwa mahar itu sesuatu yang wajib
diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita. Menurut Imam Malik bahwa
mahar itu masuk dalam rukun, maka hukum memberikannya adalah wajib. Sedangkan
yang lainnya mensunnahkan mahar. Adapun besar kecilnya mahar, para fuqaha telah
sepakat bahwa mahar itu tidak ada batas tertinggi.
Perlu kami uraikan sedikit pengertian mahar, di mana
mahar ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar dan mahar mitsil (sepadan).
a. Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan
besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad
nikah. Dengan hal ini, ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar
musamma harus diberikan secara penuh apabila :
1.
Telah bercampur
(bersenggama).
2.
Salah satu dari suami istri meninggal.
b. Mahar Mitsil (sepadan)
Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat
sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan)
dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari
tetangga sekitarnya, dengan mengingat status social, kecantikan dan sebagainya.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah
tafwidh. Hal
ini menurut jumhur ulama dibolehkan.[22]
[1] Abdul Gani Abdullah, Pengantar
Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press,
Jakarta, 1994, hlm. 78
[2] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena
Pundi Aksara, Jakarta, 2007, cet. ke-2, jilid 2, hlm. 477
[4] Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 529
[5] Slamet Abidin, Aminuddin, op. cit., hlm. 64-68
[6] Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 862
[7] Ibid., hlm. 115
[8] CD al-Maktabah al-Syamilah, edisi II, Sunan Abi Dawud, Juz
5, hlm. 477
[9] CD al-Maktabah al-Syamilah, edisi II, Sahih Ibnu Hibban, Juz
17, hlm. 153
[10] Ibid, hlm. 73
[11] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta,
2006, hlm.9
[12] Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 515
[13] Siti Musdah Mulia, Dr., Menuju Undang-Undang Perkawinan Yang
Adil, PSW UIN Yogyakarta, Yogyakarta,
2006, hlm. 22
[14] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 31
[16] Ahmad Bin ‘Umar Ad-Dairabi, Fiqih
Nikah, Mustaqiim, Jakarta, 2003, hlm. 154-162
[17] Slamet Abidin, Aminuddin, op. cit., hlm.
89-95
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
Pustaka Amani, Jakarta, 2007, cet. ke-3, jilid 2, hlm. 430
[19] Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 72
[20] Abd. Rahman Ghazaly, op. cit., hlm. 88
[21] Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 61
[22] Abd. Rahman Ghazaly, op. cit., hlm. 94